Beranda | Artikel
Seputar Permasalahan Korupsi Kolusi dan Nepotisme
Kamis, 8 Oktober 2009

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Saya mempunyai permasalahan yang perlu akan pemecahan. Saya sangat mengharapkan jawaban dari Ustadz, kalau bisa beserta dalil-dalil dari pendapat Ustadz.

Ayah saya seorang pengusaha Sablon, Reklame, dan Percetakan. Usaha ini telah dijalankan cukup lama. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masalah KKN (Korupsi, Korupsi dan Nepotisme) bisa dikatakan sudah menjadi budaya dikalangan pegawai pemerintah di Indonesia. Biasanya pegawai pemerintah yang korupsi bekerjasama dengan suatu perusahaan tertentu.

Sungguh suatu musibah, Ayah saya bekerjasama dengan pegawai pemerintah yang korupsi tersebut. Bentuk kerjasama dengan pegawai yang korupsi tersebut yaitu Pihak pegawai pemerintah memberikan order atau memesan suatu barang kepada Ayah. Kemudian ketika pembayaran Ayah saya membesarkan harga pada bukti pembayaran dari harga biasa, misalkan untuk pembuatan spanduk harga aslinya Rp. 80.000 tetapi pada bukti pembayaran ditulis Rp. 100.000. Uang yang diterima Ayah tetap sebesar Rp. 80.000, sedangkan Rp. 20.000 untuk pegawai yang bersangkutan. Jadi Ayah menulis harga melebihi harga asli pada bukti pembayaran, tetapi ayah tetap menerima harga seperti biasa.

Dari hasil kerjasama dengan PNS yang korupsi tersebut Ayah bisa membeli mobil kijang, membangun bedeng , dan membesarkan usaha yaitu memberi peralatan dan barang-barang alat tulis kantor. Jadi, kebanyakan peralatan usaha berasal dari harta hasil kerjasama dengan PNS tersebut. Ayah saya juga banyak menerima pesanan dari Dirjen Pajak, Bank-bank konvensional dan acara-acara bid’ah.

Pertanyaan saya:

  1. Bagaimana hukum harta dari kerjasama dengan pegawai pemerintah yang korupsi tersebut?
  2. Bagaimana hukum harta tersebut bagi keluarganya?
  3. Bagaimanakah sikap saya sebagai anak terhadap harta tersebut?
  4. Apa yang harus saya lakukan jika harta dan usaha ayah tersebut diserahkan kepada saya? Apakah harta tersebut harus saya kembalikan kepada pihak pemerintah, karena harta tersebut berasal dari pemerintah?

Kiranya ustadz berkenan membantu menyelesaikan permasalahan saya ini. Saya harapkan jawaban secepatnya. Semoga Allah menjauhkan diri kita dari harta yang haram dan menguatkan hati kita diatas kebenaran. Jazakumullah Khairan Katsirah.

Jawaban Ustadz:

Nabi shollahu’alaihiwasallam bersabda, “Barangsiapa menipu maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim 1/99). Oleh karena itu harta yang didapat dari cara yang haram (baca: menipu) merupakan harta yang haram.

Nabi shollahu’alaihiwasallam bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari harta yang haram maka neraka adalah tempat yang layak untuknya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Kabir 19/136, Shahih Jami’ No. 4495). Sebagai anak, hendaknya kita segera bersikap mandiri sehingga tidak bergantung dari pemberian orang tua.

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan memudahkan segala persoalan.” (QS. Ath-Thalaaq: 4)

Karena harta tersebut bukan hak kita, maka kita harus mengembalikannya kepada yang berhak. Jika tidak memungkinkan, maka hendaknya kita manfaatkan untuk kepentingan umum.

Syaikh Abdullah Al-Jibrin mengatakan:
“Tidak disangsikan lagi bahwa hakekat harta adalah milik Allah. Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, harta bisa berstatus harta haram bagi seseorang. Harta menjadi harta yang kotor bagi orang yang mendapatkannya dengan cara mencuri, merampas, mencopet, riba, suap, menipu, perdagangan, khamr, dll. Keharaman harta ini khusus berkaitan dengan interaksi dengan orang tersebut, perampas, rentenir, dst.

Oleh karena itu jika harta haram tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal sesuai dengan syariat maka diperbolehkan. Oleh karena itu umat Islam mengambil jizyah dari hasil penjualan khamr, dll. Umar rhodiallahu’anhu mengatakan, “Urusan mereka transaksi khamr akan tetapi ambillah dari hasilnya jizyah dan kharraj/pajak tanah.” Allah juga membolehkan untuk kita harta rampasan perang dari orang kafir meskipun harta tersebut dari hasil penjualan khamr, babi, dan bea cukai.

Mengingat hal di atas, maka bunga bank itu tidak halal dimanfaatkan oleh pemilik tabungan tetapi bunga tersebut tidak boleh dibiarkan dimanfaatkan oleh orang-orang kafir untuk membangun gereja dan memerangi kaum muslimin. Uang bunga tersebut bisa diberikan kepada fakir miskin, membangun masjid dan berbagai kegiatan sosial yang bermanfaat untuk kaum muslimin. Karena uang tersebut kembali kepada kaum muslimin, maka uang tersebut berstatus uang halal dan sifat kotornya sudah hilang, sebagaimana hasil penjualan babi dan hasil melacur itu untuk kepentingan-kepentingan umum, orang-orang lemah, fakir miskin, dll jika pelakunya sudah bertaubat.” (Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram – cet. Dar Ibnul Haitsam hal. 454).

***

Penanya: Arno Kurniawan
Dijawab oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

🔍 Penciptaan Hawa Menurut Alquran Dan Sunnah, Singkatan Saw, La Ilaha Illah, Yg Membatalkan Wudhu, Yang Diharamkan Dalam Islam, Menjadi Suami Yang Baik Menurut Islam

 

Flashdisk Video Cara Shalat dan Bacaan Shalat

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/51-seputar-permasalahan-korupsi-kolusi-dan-nepotisme.html